IP

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 31 Mei 2009

Perbedaan Persepsi

ADA seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA hal kepada 2 anak laki-lakinya :

- Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yg berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.

Pada suatu hari sang Ibu menanyakan hal itu kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :
“Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih”.

“Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak”.

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang sama.

Jawab anak sulung :
“Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan sehingga dengan demikian modal tidak susut”.

“Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup.”

“Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama”.

Moral Cerita :
Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat di tanggapi dengan presepsi yang berbeda.
Jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita… pilihan ada di tangan anda.

‘Berusahalah melakukan hal biasa dengan cara yang luar biasa’

Sumber : motivasi.web.id

Sabtu, 30 Mei 2009

Siapa Bilang Kerja Ikhlas Bukan Investasi?

BELASAN tahun yang lalu …
Seorang mahasiswa bertubuh kurus kering mendatangi sebuah warung makan yang terletak di dekat kampusnya, UNPAD di jl. Dipati Ukur. Kampus sebuah perguruan tinggi negeri favorit di Bandung. Ibu pemilik warung yang memang biasa melayani para mahasiswa tersebut menyambutnya dengan ramah.

”Silahkan Dik, mau makan nasi pakai lauk apa?” tanyanya.

”Kalau sebungkus nasi harganya berapa Bu?” si mahasiswa balik bertanya.

”Lima ratus rupiah, Dik. Lauknya mau apa saja? Silahkan pilih”, jawab si pemilik warung.

”Kalau sepotong daging rendang harganya berapa Bu?” tanya si mahasiswa lagi.

”Dua ribu saja”, jawab si pemilik warung.

Si mahasiswa terlihat mengerenyitkan dahi dan berpikir. ”Kalau sayur lodeh jadi berapa Bu?” tanyanya lagi.

Begitu seterusnya si mahasiswa menanyakan satu persatu harga masakan yang ada di warung itu. Setiap kali diberitahu harganya, si mahasiswa terlihat terdiam sejenak dan terus menanyakan harga masakan lainnya yang ada di warung itu. Sementara sang pemilik warung berusaha menjawab satu persatu dengan sabar.

Sampai akhirnya si mahasiswa bertanya, ”Kalau kuahnya saja tanpa tanpa daging berapa Bu?”

”Oh, kalau kuahnya gratis, Dik”, jawabnya.

”Oh…., kalau begitu saya beli nasi satu porsi saja tetapi disiram kuah rendang atau kuah soto. Jadi hanya lima ratus rupiah ya Bu,” kata si mahasiswa sambil mengeluarkan uang lima ratus rupiah.

”Mohon maklum ya Bu, uang kiriman orang tua saya sangat terbatas. Sedangkan saya harus segera menyelesaikan skripsi saya yang membutuhkan banyak biaya. Jadi terpaksa harus ngirit”, katanya dengan nada malu-malu.

”Pasti mahasiswa ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di luar kota”, pikir sang pemilik warung. ”Tetapi dia pasti membutuhkan banyak gizi agar dapat cepat menyelesaikan skripsinya”, pikirnya lagi.

Sang ibu pemilik warung yang merasa iba lalu menyelipkan sepotong telur yang tidak terlihat di bagian tengah nasi yang dibungkusnya, sebelum menyiramnya dengan kuah rendang.

Keesokan harinya, si mahasiswa kembali ke warung tersebut. Dia hanya berkata dengan malu-malu, ”Beli nasi seperti yang kemarin, ya Bu. Disiram kuah rendang atau kuah soto…”. Lalu dia membayar lima ratus rupiah saja dan tidak berkata apa-apa lagi.

Begitu seterusnya. Setiap hari si mahasiswa pendiam memesan makanan yang sama dan si pemilik warung selalu tak pernah lupa menyelipkan sebutir telur, terkadang sepotong daging rendang ke dalam nasi yang dibungkusnya. Sang pemilik warung melakukan ini dengan hati yang ikhlas ingin membantu si mahasiswa miskin tersebut.

Setelah beberapa minggu berlalu, si mahasiswa itu tiba-tiba menghilang. Dia tidak pernah menampakkan diri lagi di warung itu. ”Mungkin dia sudah lulus menjadi sarjana dan kembali ke kota asalnya”, pikir sang pemilik warung. Sang pemilik warung pun melupakannya.

Belasan tahun kemudian…

Sang pemilik warung benar-benar sedang kalut. ”Hari ini adalah hari terakhir warung kita buka. Besok warung kita akan digusur karena ada pembangunan monumen xxxxxxxxx”, katanya kepada anak-anaknya sambil berlinang air mata. Anak-anaknya yang masih kuliah serta yang masih duduk di bangku SMA duduk diam terpaku merenungi nasib mereka.

”Ya, Tuhan…! Dengan apa aku harus membiayai sekolah anak-anakku setelah warung ini digusur?”, jeritnya dalam hati.

Semakin sesak perasaan hatinya, kala teringat uang tabungannya yang telah ludes untuk membiayai pengobatan rumah sakit anaknya yang bungsu. Tidak ada lagi uang untuk biaya membuka warung di tempat lain.

Tiba-tiba saja, sebuah mobil berhenti tepat di depan warungnya. Seorang pria berdasi yang tidak dikenalnya menghampiri dan berkata, ”Bu, besok warung ini akan digusur bukan? Apakah Ibu sudah memutuskan akan pindah ke mana?” tanyanya lagi.

”Belum, Pak…”, jawab sang pemilik warung dengan terbata-bata.

”Bagus! Kalau begitu, mulai besok Ibu bisa berjualan di kantin kami di gedung perkantoran xxxxxx”, katanya menyebutkan sebuah gedung perkantoran yang cukup megah di pusat kota Bandung.

”Tapi Pak, kami tidak mampu membayar biaya sewanya. Apalagi di gedung itu, pasti mahal sekali biaya sewanya”, kata sang pemilik warung.

”Ibu tenang saja … karena di sana Ibu tidak usah membayar sewa sama sekali. Tempat untuk Ibu berjualan sudah disediakan oleh Direktur perusahaan kami. Ibu boleh memakainya untuk berjualan makanan sampai kapan pun Ibu mau.”

”Haaahh…! Siapa direktur itu? Saya tidak punya kenalan direktur…”, kata sang pemilik warung dengan sangat terkejut.

”Saya sendiri tidak begitu mengenalnya… karena saya staf baru di perusahaan kami”, kata si pria tersebut. ”Tetapi Pak Direktur titip pesan, katanya dahulu sewaktu kuliah dia sangat menyukai telur dan daging rendang masakan Ibu. Mulai besok dia ingin makan masakan itu lagi di kantornya…”.

* * *
Dari peristiwa itu, saya bisa belajar satu hal bahwa kebaikan yang dijalankan dengan hati penuh ikhlas adalah investasi. Semua Investasi pasti akan menghasilkan. Investasi kebaikan saat ini akan menghasilkan kebaikan pula di kemudian hari, walau pun kita belum tahu wujud kebaikan yang akan terjadi nanti.

Dengan bekerja ikhlas kita tidak memperdulikan balasan atau pun imbalan dari perbuatan kita. Seperti matahari pagi yang tetap bersinar setiap pagi, tidak pernah mengharapkan sinarnya dipantulkan kembali kepada matahari.

Tetaplah bekerja dengan x-tra kerja ikhlas! Faktor X ke tiga dalam fondasi kesuksesan seseorang, seperti yang saya jelaskan pada buku unik bestseller ”8 Langkah Ajaib Menuju ke Langit: Rahasia Dahsyat Meraih Impian”.

Ingatlah! Bahwa walau pun semua orang di dunia tidak peduli dan menutup mata terhadap apa pun keikhlasan yang kita perbuat, tetapi Tuhan akan selalu peduli dan tidak akan menutup mata Nya kepada keikhlasan hati kita.

Di saat yang TEPAT Dia akan memanggil malaikat Nya, ”Kat, Kat, malaikat…kasih BERKAT untuk orang yang ikhlas itu”.

Mengenai Faktor X ke tiga dari fondasi kesuksesan, yaitu x-tra Kerja Ikhlas, anda dapat membacanya lebih lengkap di buku “8 Langkah Ajaib Menuju ke Langit”. “Buku Ajaib” yang dapat mengubah hati banyak orang, demikian komentar banyak orang yang telah membacanya. [Victor Asih]

>> Victor Asih, Founder Sekolah Bisnis Gratis USB, Mentor, Entrepreneur, Inspirator, Motivator, Software Engineer & Information Technology Consultant, Kolumnis, Penulis Buku Unik Bestseller “8 Langkah Ajaib Menuju ke Langit”. Penulis bisa dihubungi melalui email victorasih@yahoo.co.id atau kunjungi websitenya www.usbschool.com atau blog usbschool.blogspot.com

Jumat, 29 Mei 2009

Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak Atas Nama Cinta

SAAT anda membaca judul artikel ini gambar apa yang muncul di benak anda? Saya yakin yang muncul pastilah gambar, memori, atau film tentang kekerasan fisik yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak. Bisa jadi memori ini muncul karena anda pernah membaca, mendengar, melihat, atau mengalami sendiri bentuk kekerasan fisik ini. Atau mungkin yang muncul adalah gambar mental tentang kekerasan seksual pada anak.

Bagaimana reaksi anda bila melihat anak yang babak belur di(h)ajar orangtuanya atau yang mengalami pelecehan seksual?

Pastilah sangat sedih, kecewa, atau bahkan marah sekali. Bisa juga anda merasa begitu iba terhadap nasib si anak.

Nah, dalam artikel ini saya tidak akan membahas mengenai bentuk kekerasan seperti yang saya jelaskan di atas. Bentuk kekerasan di atas adalah yang tampak oleh mata. Ada bentuk kekerasan lain, yang justru jauh lebih kejam dan sangat-sangat negatif terhadap perkembangan diri anak, yang tidak tampak oleh mata.

Berbeda dengan luka fisik yang secara otomatis akan sembuh, walau mungkin akan meninggalkan bekas, luka (batin) akibat bentuk kekerasan ini tidak akan bisa mengering dan sembuh. Luka ini akan selalu terbawa menyertai hidup anak hingga ia dewasa, tua, dan meninggal, kecuali bila ia menyadarinya dan segera dilakukan intervensi untuk menyembuhkan luka ini.

Yang lebih menyedihkan lagi, orangtua yang tidak menyadari hal ini, sering menoreh luka baru di atas luka lama yang belum sembuh. Bisa dibayangkan betapa sakitnya.

Nah, apa sih bentuk kekerasan pada anak yang tidak tampak oleh mata?

Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut saya ingin menjelaskan mengapa saya menulis artikel ini. Ceritanya begini. Saya banyak melakukan terapi. Umumnya yang saya terapi adalah orang dewasa dengan berbagai masalah. Dari sekian banyak klien yang saya tangani, saat saya membimbing pikiran klien untuk mencari dan menemukan akar masalah mereka, dengan teknik terapi tertentu, lebih dari 95% masalah selalu berawal di masa kecil mereka, yaitu umumnya pada usia sebelum 7 tahun. Ada juga yang berawal di antara usia 7 – 10 tahun. Masalah yang paling sering saya jumpai adalah kekerasan emosi.

Nah, terjawab sudah pertanyaan di atas. Kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orangtua, yang tidak tampak oleh mata, adalah kekerasan emosi.

Kekerasan emosi didefinisikan sebagai segala sesuatu, yang dilakukan oleh orangtua, orang tua, termasuk sekolah, dan lingkungan, yang merusak harga diri atau citra diri anak.

Apa saja contohnya? Wah banyak sekali. Antara lain membiarkan anak kesepian, tidak ada kedekatan emosional, tidak memberikan anak sentuhan fisik, mengabaikan anak, menolak anak, mendiamkan anak, tidak berkomunikasi dengan anak, tidak mengijinkan anak mengungkapkan emosi yang ia rasakan, membuat anak merasa bersalah, memarahi anak dengan keras untuk hal-hal sepele, menyebut anak dengan sebutan “anak bodoh” atau “goblok”, atau tidak segera membantu saat anak diejek (bully).

Bentuk lain kekerasan emosi terhadap anak adalah saat orangtua menuntut anak menjadi anak yang manis dan sempurna menurut standar orangtua. Orangtua tipe ini beralasan bahwa mereka melakukannya karena demi kebaikan anak. Orangtua ini yang paling sering menggunakan kata “Jangan” dan “Tidak boleh” dan biasanya sangat menuntut (demanding). Mereka ingin anak bisa melakukan sempurna seperti yang mereka inginkan.

Tuntutan yang seringkali tidak masuk akal, karena tidak sesuai dengan usia anak, atau melebihi kemampuan anak untuk memenuhinya, membuat anak menjadi cemas dan akhirnya menutup diri.

Orangtua, yang biasanya memaksa anak berkembang menurut kecepatan yang tidak masuk akal, demi memuaskan ambisi dan nafsu pribadi, beralasan bahwa semua ini dilakukan demi kebaikan dan masa depan anak. Orangtua beralasan bahwa bila anak tidak di(h)ajar sejak dini, dengan berbagai les atau pelajaran, maka anak akan tertinggal dan akan sulit bersaing di masa depan.

Benarkah demikian?

Kekerasan emosi yang tejadi pada anak saat ini terjadi secara intens dan sistematis terutama di sekolah. Kurikulum pendidikan yang begitu berat, proses pembelajaran yang tidak membelajarkan dan tidak berpihak pada anak, tuntutan untuk perform, baik yang diminta oleh sekolah maupun oleh orangtua, atas nama cinta dan masa depan anak, membuat emosi anak kerdil dan akhirnya berhenti berkembang.

Seorang klien, sebut saja Bu Reni, marah besar saat ia merasa sekolah tempat putrinya menuntut ilmu tidak bisa mengajar seperti yang ia harapkan. Bu Reni tanpa banyak bicara langsung memutuskan untuk memindahkan anaknya ke sekolah lain yang ia rasa bagus.

Bagaimana hasilnya? Malah tambah parah. Di sekolah baru ini putrinya merasa semakin berat dan tersiksa. Begitu banyak PR yang harus dikerjakan dan setiap hari ada ulangan. Padahal putri Bu Reni baru kelas 4 SD.

Apa yang membuat Bu Reni marah besar dan memutuskan memindahkan anaknya ke sekolah lain?

Ternyata Bu Reni merasa malu karena putrinya kalah fasih berbahasa Inggris dibandingkan dengan anak temannya. Di sini tampak sekali bahwa keputusan yang ia buat untuk memindahkan putri lebih didasarkan pada gengsi semata dan bukan dengan pertimbangan demi kebaikan putrinya.

Saat ini Bu Reni pusing dan stress karena harus membantu dan menemani putrinya belajar setiap hari. Bu Reni merasa putrinya merampok waktu senggangnya. Tekanan yang dialami oleh Bu Reni akhirnya berimbas kepada putrinya juga.

Satu kasus lagi adalah seorang Ibu yang marah sekali dan berkata bahwa anaknya sangat bodoh karena tidak bisa menguasai bahasa dan tulisan Mandarin padahal sudah dileskan kepada guru yang sangat terkenal.

Saat saya tanya berapa usia anak Ibu ini saya mendapat jawaban yang sungguh mengagetkan dan memprihatinkan. Ternyata anak Ibu ini baru berusia 3 (tiga) tahun. Ini yang bodoh dan goblok apakah anaknya atau Ibunya ya?

Anak usia 3 tahun tidak butuh pelajaran Mandarin. Anak butuh bermain dan bermain. Mengapa? Karena dengan bermain anak akan berkembang. Anak butuh kasih sayang, perhatian, dan dukungan orangtua.

Sudah saatnya kita sebagai orangtua berani berkata jujur pada diri sendiri, “Apakah yang saya lakukan ini sungguh-sungguh demi anak ataukah sekedar demi memuaskan ego atau gengsi saya? Apakah yang saya lakukan ini benar-benar suatu kebaikan ataukah kekerasan yang dengan mengatasnamakan cinta?”

Yang lebih penting lagi adalah beranikah orangtua bertanya kepada diri sendiri, "Jika posisinya dibalik, saya menjadi anak dan anak menjadi saya, maukah saya diperlakukan seperti ini?". [Adi W. Gunawan]

Kamis, 28 Mei 2009

The PARIS Formula Untuk Sukses Anda

KALAU saya memiliki obat mujarab yang menjamin siapapun yang meminumnya pasti ditanggung 100% sukses, berapa Anda mau beli? Pasti berapapun Anda mau! Masalahnya itu adalah hal yang tidak mungkin. Sukses adalah perjalanan hidup yang tak seorangpun bisa menduga. Anda yang dilahirkan oleh keluarga sukses bisa saja mati dalam keadaan miskin. Sebaliknya, Anda yang dilahirkan miskin bisa saja mati dalam keadaan kaya raya dan bahagia. Bisa juga Anda dilahirkan oleh keluarga kaya raya dan mati dalam keadaan kaya raya dan bahagia pula. Kalau Anda termasuk yang ini, selamat! Anda benar-benar orang yang beruntung. Semoga saja, tidak satupun dari Anda yang dilahirkan miskin dan mati dalam keadaan miskin pula.

Jadi, terbuka peluang sukses bagi siapa saja! Anehnya, tidak banyak orang yang sadar akan peluang emas ini. Peluang emas? Iya, karena sukses bisa menjadi milik siapa saja, termasuk Anda! Tapi kalau demikian, konsekwensinya kegagalan juga bisa menjadi milik siapa saja? Iya, benar! Tapi itu bukan keahlian saya untuk mempersiapkan orang menjadi gagal. Saya memilih menjadi ahli dibidang mempersiapkan orang menjadi sukses. Jadi kita bicara bagaimana menyiapkan diri kita menjadi sukses saja.

Sukses bagi satu orang bisa berbeda ukurannya dengan orang lain. Ada yang mengatakan bahwa orang dikatakan sukses apabila mereka kaya raya. Itu benar. Ada juga yang mengatakan sukses adalah kalau kita menjadi orang yang terkenal. Itu juga bisa. Ada yang mengatakan bahwa sukses adalah bila kita memiliki kekuasaan. Itu juga tidak salah. Apapun definisinya, pada prinsipnya sukses adalah mendapatkan yang kita mau!

Dalam kesempatan ini saya akan membawa Anda untuk sukses melalui jalur PARIS, yang merupakan akronim dari Passion, Action, Result, Improvement, and Success. Mari kita bahas satu persatu.

Passion
Untuk sukses Anda perlu passion. Passion adalah suatu terminologi untuk menggambarkan seberapa besar kita ingin mendapatkan apa yang kita mau. Passion menunjukkan seberapa kita “bernafsu” atas apa yang kita mau, seberapa besar kita ingin mewujudkan apa yang kita mau, seberapa besar kita mau berkorban untuk mendapatkan apa yang kita mau. Jadi passion akan mencakup motivasi, keteguhan, kesabaran, hasrat, kerelaan, keihlasan, imajinasi, dan keyakinan.

Passion yang kuat akan mendekatkan kita pada terwujudnya apa yang kita mau. Bahkan ada yang mengatakan bahwa seseorang yang tidak dapat mendapatkan apa yang ia mau bisa jadi karena passionnya yang belum cukup kuat. Mari kita renungkan, seberapa kuat passion kita?

Action
Berapapun dekatnya suatu tujuan tidak akan pernah tercapai apabila kita tidak memulai langkah pertama. Jarak ribuan kilometer terdiri dari selangkah demi selangkah yang akhirnya mendekatkan kita pada tujuan yang ingin kita capai. Jadi, jangan pernah berpikir kalau kita akan mendapatkan yang kita mau tanpa bergerak, tanpa berbuat, tanpa action! Action, action, dan action! Apa sih artinya cita-cita tinggi, persiapan dan perhitungan yang rumit, serta modal yang berlimpah apabila kita tidak bergerak untuk memulai? Banyak orang sukses justru langsung “action” saat mereka memiliki hasrat. Tanpa pertimbangan? Tanpa persiapan? Bukan begitu filosofinya. Tapi mereka memahami bahwa mereka bisa learning by doing. Percuma saja kalau cuma learning without doing.

Inilah apa yang disebut dengan the power of action. Langkah pertama Anda akan memperingan langkah berikutnya. Seperti halnya orang mengayuh sepeda, putaran pertama selalu lebih berat dari pada putaran berikutnya. Kalau sudah melaju, putaran berikutnya menjadi ringan, dan semakin lama semakin ringan. Demikian pula action. Berat memulainya tetapi bila sudah action, akan menjadi ringan dan akhirnya menjadi kebiasaan.

Result
Sukses adalah mendapatkan hasil. Tidak selalu hasil dalam bentuk uang, atau materi lainnya, namun bisa saja hasil dalam bentuk kepuasan batin dan bentuk yang tidak berwujud (intangible) lainnya. Dalam melangkah kita harus jelas apa hasil yang kita harapkan. Kita tidak bergerak berputar kesana kemari untuk sok sibuk saja, tetapi kita berbuat untuk mendapatkan hasil.

Agar kita mendapatkan hasil kita harus pandai-pandai membuat hasil mendekat kepada kita. Bukannya kita yang harus berjalan dan bertindak menuju hasil yang diharapkan? Iya benar. Namun kita juga bisa mendekatkan hasil yang berjalan kepada kita. Bagaimana caranya?

Beberapa cara dapat kita lakukan agar result mendekat kepada kita. Yang pertama adalah dengan cara berdoa. Berdoa? Kok klasik banget? Iya, memang klasik tetapi ini sangat ampuh, manjur, dan terbukti. Dengan berdoa kita akan selalu mengklarifikasikan apa yang kita mau. Kita akan memperjelas apa yang kita mau dari satu doa ke doa berikutnya. Doa berisi restatement of the goal. Jadi dengan berdoa kita semakin jelas dengan tujuan kita. Langkah berikutnya adalah dengan visualisasi, yaitu membawa tujuan yang akan kita capai seolah-olah ada di depan mata kita. Hal ini sudah banyak dilakukan orang dan terbukti kebenarannya. Cara yang ketiga untuk mendekatkan tujuan kepada kita adalah dengan masuk pada orbit yang benar, yaitu orbit dimana orang-orang yang memiliki tujuan sejenis berada. Kalau kita ingin menjadi penyanyi terkenal maka dekat-dekat dengan penyanyi terkenal akan mendekatkan kita pada tujuan, dalam arti tujuan mendekat kepada kita.

Improvement
Hambatan dan tantangan adalah sahabat orang sukses. Demikian pula kegagalan. Orang sukses justru sering gagal? Iya. Memang begitu. Tingkat kegagalan saya memasukkan bola ke gawang lawan lebih sedikit dibandingkan dengan David Beckham. Jadi David Beckam lebih banyak gagalnya dari pada saya. Mengapa? Karena saya tidak pernah bermain sepak bola, dan kalaupun bermain sepak bola termasuk orang yang tidak diperhitungkan. Sedangkan David Beckham bermain sepak bola hampir setiap hari sehingga dia mencoba memasukkan bola ke gawang lawan hampir setiap hari pula. Tentu saja banyak yang gagal, tetapi kalau dihitung yang berhasil? Tentu banyak pula yang berhasil. Disinilah kita harus memandang hambatan, tantangan, dan kegagalan dari kacamata yang berbeda. Kegagalan bukan untuk ditangisi tetapi untuk diperbaiki. It’s a matter of improvement!

Improvement akan memperbesar result, mempermudah action, dan memperkuat passion. Dengan demikian improvement bukanlah pekerjaan sekali, pekerjaan yang sekali dilakukan kemudian habis perkara. Bukan seperti itu. Perbaikan harus dilakukan berkesinambungan, terus menerus. Continuous improvement!

Success
Setelah melewati tahapan-tahapan yang diformulasikan dengan PARIS ini, sampailah kita pada sukses. Suskses adalah yang kita tuju. Setelah sukses kemudian apa lagi? Sukses harus melahirkan kesuksesan lainnya. Orang yang sukses dalam berbagai bidang bukan orang super, tetapi orang yang pandai melahirkan sukses kecil, kemudian menjadi kesuksesan kecil lainnya, dan terus beranak pinak menjadi suskses-sukses yang lain.

The PARIS Formula
Akhirnya passion, action, result, improvement, dan success telah kita lalui. Jalan menuju PARIS tersebut bukanlah jalan yang tak mungkin dilakukan oleh siapa saja. PARIS adalah milik semua orang yang mau sukses! Selamat, Anda salah satunya. [Agung Praptapa]

>> Agung Praptapa, adalah seorang dosen, pengelola Program Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga sebagai konsultan dan trainer profesional di bidang personal and organizational development. Alumni UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana ke Amerika dan Australia, di University of Central Arkansas dan University of Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di berbagai universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di Ohio State University, Kent State University, Harvard University, dan University of London. Agung Praptapa juga seorang entrepreneur di bidang konsultasi bisnis, pendidikan, elpiji dan minuman sehat. Alumni Writer Schoolen dan Trainer Schoolen. Website: www.praptapa.com; Email: praptapa@yahoo.com.

Rabu, 27 Mei 2009

Kekuatan Kata-kata Positif

MEMBACA karya Joe Vitale dalam ‘Zero Limits, Metoda Rahasia Hawaii untuk Memperoleh Kekayaan, Kesehatan, Kedamaian dan Banyak lagi’ sangat luar biasa inspiratif. Posisi Joe Vitale dalam buku tersebut adalah pihak yang menjelaskan pertemuan dengan sosok Ihaleakala Hew Len yang memiliki cara penyembuhan yang agak aneh.

Salah satu hal yang aneh tersebut adalah Hewlen menyembuhkan sebangsal penuh narapidana yang sakit jiwa tanpa pernah melihat seorang pun dari mereka secara profesional. Ternyata Hew Len menggunakan metoda penyembuhan dengan sebuah cara “pembersihan diri” secara terus menerus kepada diri sendiri. Lebih jelasnya pembersihan diri tersebut adalah dengan ungkapan “Saya mengasihi Anda”, “Maafkanlah Saya”, “Terimakasih”, dan terakhir adalah “Salam kedamaian”.

Dalam pandangan Hew Len, untuk memperbaiki dunia, lingkungan atau siapapun maka langkah awal yang harus dilakukan adalah memperbaiki diri sendiri terus menerus. Sehingga diri kita selalu dalam keadaan bahagia, damai dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk baik yang bernyawa maupun yang kelihatan tidak bernyawa. Dan semua “kegagalan” di dunia ini menjadi 100% tanggung jawab kita.

Ketika tanggung jawab sudah 100% kita ambil, maka tidak ada lagi alasan untuk menyalahkan orang lain, mencari kambing hitam dan alasan-alasan lainnya yang dicari-cari. Bila semua orang memiliki sikap seperti ini maka dunia ini akan sangat damai, dan dipenuhi dengan energi positif yang bertebaran di atmosfer ini. Universe akan tersenyum melihat mental-mental manusia yang sehat, sikap-sikap manusia sebagai pemimpin dunia yang fair.

Secara jujur kita sadari, dunia kita sudah terlalu sesak dipenuhi energi negatif yang bertebaran di sana-sini. Entah berapa perbandingan kuantitatif antara energi negatif dan positif yang bertebaran. Tapi konon ada pandangan yang mengatakan bahwa 9 energi negatif akan netral dengan 1 energi positif. Benarkah? Memang kita belum memiliki bukti secara ilmiah yang menyimpulkan tesis tersebut. Tapi secara sederhana kita bisa membuktikan, kalau ada sekelompok orang yang bertikai, kemudian datang seorang arif bijak yang mendamaikan pertikaian tersebut, besar kemungkinan pertikaian tadi bisa dihentikan.

Kalau kita mengambil tanggung jawab 100% untuk membuat kebaikan di lingkungan sekitar kita, maka 1:10 atau bahkan lebih banyak lagi bisa membuat energi positif bertebaran di alam ini. Apa sih susahnya untuk mengatakan “Saya Mengasihi Anda”, “Terimakasih”, “Maafkanlah Saya”, “Salam kedamaian”, atau bisa ditambah lagi dengan kata-kata lain seperti “Sukses Selalu buat Anda”, “Bahagia selalu untuk Anda”, “Keberkahan untuk Anda” dll. Isinya adalah doa-doa baik untuk orang sekitar kita dan ungkapan rasa syukur.

Mau mencoba? Ya, harus kita coba dulu efektifitas ungkapan kata-kata tersebut. Dan ungkapan tadi tidak hanya kepada manusia, kepada benda, hewan atau makhluk tidak hidup lainnya juga patut untuk diungkapkan. Tidak heran kalau penelitian Masaru Emoto dalam The Power of Water yang meneliti tentang air yang diberi ungkapan-ungkapan yang baik-baik akan membentuk kristal yang sangat indah. Sementara air yang dimaki, dimarahi, dibenci akan memunculkan kristal yang jelek.

Memang tidak cukup hanya dengan mengeluarkan kata-kata tersebut di atas lantas akan memperbaiki segalanya. Lakukan berulang-ulang kata-kata tersebut di atas sampai menyatu dengan diri kita. Apabila kata sudah menyatu dengan pikiran dan hati, siapa yang tahu akan memunculkan keajaiban-keajaiban. Tapi kata-kata tersebut di atas bagi yang mengucapkan dengan sepenuh hati akan memunculkan perasaan bahagia dan damai setiap saat.

Di sisi lain, kita akan terpelihara dari godaan-godaan untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat. Sebenarnya kata-kata yang kita ungkapkan memiliki makna berbeda setelah masuk ke dalam pikiran kita. Pikiran akan memberikan gambaran atas kata yang kita ucapkan. Ketika kita mengucapkan kata mengasihi maka pikiran menggambarkan seseorang yang mengusap-usap seseorang (anak kecil), atau memberikan perhatian kepada orang yang kesusahan atau memberikan menjaga orang yang membutuhkan bantuan.

Ketika mengungkapkan kata “Maafkan saya”, ketika itu pula ada rasa melepaskan energi negatif dan beban yang ada di pikiran dengan sebuah pengakuan. Dan orang yang mendengar kata-kata tersebut juga akan muncul rasa yang lembut yang juga mengucapkan kata yang sama, “Maafkan saya juga”.
Luar biasa indah dunia ini kalau diisi dengan kata-kata yang berenergi positif. Sudah saatnya kita menyadari akan kekuatan ikhlas, kekuatan kebahagiaan, kekuatan kedamaian, kekuatan cinta dan kasih sayang, kekuatan syukur. Ucapkan kata-kata tersebut terus menerus setiap saat maka kita akan senantiasa berada dalam pencerahan yang luar biasa.

Salam kedamaian, salam kebahagiaan, saya mengasihi Anda, terimakasih, maafkan atas segala kesalahan saya. Sukses selalu buat Anda. [>>]

>> Penulis adalah GM Radar Pekalongan. Bisa dihubungi di asepradar@gmail.com dan http://langitbirupekalongan.blogspot.com

Selasa, 26 Mei 2009

Kebiasaan Pesimis

PERHATIKANLAH percakapan singkat antara ibu dan anaknya berikut ini. Namun sebelumnya saya akan menceritakan secara singkat latar belakang percakapan mereka. Sang ibu ternyata sedang berbelanja bersama anaknya yang berumur 8 tahun. Mereka berdua, setelah berbelanja, menuju ke tempat parkir, dimana mobil mereka diparkir. Dan inilah percakapan mereka:

Anak: Ibu, sisi mobil ini yang penyok.Ibu: Sial, Bob (suaminya) pasti marah besar.

Anak: Ayah menyuruh ibu untuk selalu memarkir mobil barunya jauh dari mobil-mobil yang lain.Ibu: Sial, hal-hal seperti ini selalu saja menimpaku. Aku sangat malas, aku hanya tidak ingin membawa barang belanjaan dari tempat yang jauh. Bodoh sekali aku ini.

Seperti yang Anda lihat dan rasakan, kejadian seperti ini terkadang menimpa seseorang, tapi bukan kejadiannya yang akan kita fokuskan pada artikel kali ini. Tapi pada percakapan sederhana dan yang terus berulang, yang kebanyakan orang lakukan ketika menghadapi sebuah masalah.

Penelitian menyebutkan, anak-anak yang belum masuk usia pubertas jauh lebih optimis daripada orang dewasa. Hal tersebut dapat kita lihat pada percakapan sang anak di atas. Sang anak dan ibunya melihat masalah yang sama, tapi sang anak lebih memfokuskan pembicaraan kepada hal-hal yang bersifat spesifik pada masalah dan bagaimana agar terhindar dari masalah tersebut. Coba perhatikan kata sang anak: “Sisi mobil ini yang penyok”. Anak langsung memfokuskan pembicaraan pada “masalah apa yang sedang terjadi”. Bahkan sang anak berbicara juga tentang pencegahannya: “Ayah menyuruh ibu untuk selalu memarkir mobil barunya jauh dari mobil-mobil yang lain”.

Apa yang dipikirkan oleh sang anak, yang bersifat lebih optimis, sangat berbeda dengan sang ibu (bahkan hampir semua orang dewasa) ketika menghadapi masalah tersebut. Sang ibu terlihat lebih fokus pada: “Hal-hal seperti ini selalu saja menimpaku”. Ini adalah kalimat ambigu karena kata “hal-hal seperti ini” tidak jelas mengacu pada apa atau sesuatu yang spesifik. Masalahnya adalah mobil yang penyok (kasusnya jelas dan spesifik) tapi perhatiannya justru terfokus pada sesuatu yang bersifat universal, seolah-olah semua kejadian buruk selalu menimpanya.

Kalimat tersebut juga bersifat permanensi. Artinya akan selalu terjadi hal-hal yang buruk pada dirinya. Karena di dalam kalimat tersebut sang ibu menggunakan kata “selalu”. Ini berarti semua hal buruk (bersifat universal) akan terus terjadi pada dirinya (dengan menggunakan kata “selalu” pada kalimat tersebut di atas). Sang ibu ketika berucap secara spontan pada kejadian tersebut, tidak memberikan syarat terhadap kemalangan yang baru saja menimpanya atau menetapkan batasan tentang masalah-masalah yang selalu dialaminya. Selain itu, ucapan tersebut sangat bersifat pribadi: “menimpaku”. Hal ini mengisyaratkan bahwa semua kejadian buruk hanya menimpa dirinya saja dan sepertinya tidak menimpa orang lain, hanya dirinya saja. Jika seseorang sudah berasumsi bahwa setiap kejadian buruk hanya menimpa dirinya, maka dengan mudah dia akan melihat dirinya sebagai korban penderitaan.

Kalimat berikutnya membuat kondisi sang ibu lebih parah lagi: “Aku sangat malas”. Seperti halnya kalimat yang tadi kita bahas, kalimat ini juga bersifat permanensi atau penetapan penilaian terhadap diri sendiri. Dan kalimat ini pun bersifat ambigu karena tidak mengacu pada hal spesifik tertentu. Seharusnya yang dikatakan sang ibu tadi adalah: “Tadi aku sedang malas”. Namun karena kalimatnya yang bersifat non spesifik, maka penetapan “malas” akan mengacu pada semua situasi pada diri sang ibu tersebut.

“Aku hanya tidak ingin membawa barang belanjaan dari tempat yang jauh”. Kalimat bersifat “menarik kenyataan yang tidak diinginkan”. Seharusnya kalimatnya menjadi lebih positif dengan berkata: “Tadi aku ingin membawa barang belanjaanku dari tempat yang lebih dekat”. Dan kalimat terakhir menutup kesimpulannya sendiri bahwa dirinya memang selalu seperti itu: “Bodoh sekali aku ini”. Kalimat ini bersifat permanensi, ambigu, dan menyerang diri sendiri.

Itulah serangkaian kalimat pendek, yang dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa (khususnya para orang tua) dalam menghadapi situasi yang tidak diharapkan. Kebiasaan ini akan didengar oleh anak-anak dan kemudian anak-anak akan menggunakan kemampuan alaminya, yaitu meniru apa yang dilakukan oleh orang tuuanya. Dan akhirnya jadilah sebuah mata rantai kebiasaan pesimis. [Syahril Syam]

Senin, 25 Mei 2009

Perang Dengan Kemiskinan Mental

BEBERAPA bulan terakhir ini, kita semua tak lepas dari wacana kebangkitan bangsa Indonesia. Para politisi, pengusaha, cendekiawan, agamawan, akademisi, mahasiswa, dan hampir semua kalangan, dengan bersemangat membicarakan bagaimana membangkitkan kembali bangsa yang besar ini. Siapa yang harus memulai bekerja keras membangkitkan Indonesia kembali? Para pemimpin? Atau “mereka” di luar sana? Atau justru harus dimulai dari diri kita sendiri?

Pada 2400 tahun yang lalu, berlaku prinsip kill or to be killed, membunuh atau dibunuh. Supaya survive maka harus berperang membunuh musuh. Filosofi survival zaman kehidupan Sun Tzu ini, sesungguhnya masih ada relevansinya! Tentu saja, relevansinya bukan pada membunuh orang lain. Dalam konteks bangsa ini, peperangan sesungguhnya tidak terjadi “di luar sana”, melainkan perang terjadi “di dalam diri kita”. Artinya, kita harus berperang melawan kemiskinan mental yang sekian lama telah membelenggu diri kita.

Apa itu kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifatnya sangat menghambat kemajuan. Contohnya; malas, pesimistik, prasangka buruk, suka menyalahkan pihak lain, dan iri pada keberhasilan orang lain. Mental miskin juga ditunjukkan dari perilaku yang tidak disiplin, tidak punya kepercayaan diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punya visi ke depan. Inilah peperangan yang harus kita menangkan saat ini.

Bayangkan! Seandainya setiap dari kita, mulai saat ini, detik ini juga, satu demi satu tergerak untuk mengalahkan mental miskin. Berjuang memenangkan medan pertempuran menuju kepada kekayaan mental. Yaitu mental yang penuh rasa tanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, berkemauan untuk selalu belajar, pantang berputus asa, dan memiliki visi ke depan.

Jika kita semua memiliki kekayaan mental, pasti kita akan survive dalam kehidupan yang makin kompetitif. Peluang kita untuk meraih cita-cita akan semakin besar. Dan kita bisa memandang masa depan kita dengan lebih optimistik.

Bukan tidak mustahil, berangkat dari kebangkitan mental diri kita masing-masing, maka kita telah ikut ambil bagian dalam membangkitkan kembali kejayaan negeri tercinta ini. Jadi jelas jawabnya, jika ingin Indonesia berdiri tegak sama terhormatnya dengan bangsa lain, kita semua harus memulainya dari diri kita masing-masing. [Andrie Wongso]

Minggu, 24 Mei 2009

Black Heart

ADA kemiripan antara murid sekolah dan karyawan. Entah itu karyawan pabrik atau pun karyawan kantor. Kemiripannya atau boleh disebut juga persamaannya adalah sangat dinantikannya waktu istirahat. Bila tiba waktunya, maka para murid berhamburan keluar kelas, masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat. Begitupun para karyawan, mereka juga berhamburan keluar kantor atau pabrik. Para karyawan pun mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat.

Pada umumnya waktu istirahat digunakan untuk makan. Ada yang sekedar pindah ruangan saja, ke kantin umpamanya dan tak perlu keluar kantor, sebab kantin sudah tersedia di area kantor atau pabriknya. Tetapi tak sedikit karyawan yang merasa perlu pergi keluar area kantor atau pabrik untuk mencari makan, walaupun perusahaan telah menyediakan makan. Ada yang gratis, ada yang semi gratis. Kalau gratis, artinya karyawan tinggal menyedok nasi dan ambil lauk pauk lalu makan. Sedangkan semi gratis, seperti di sebuah bank nasional contohnya, hanya disediakan nasi putih saja. Jadi para karyawan tinggal membawa lauk pauk sendiri. Tetapi itu dulu. Entah sekarang. Sebab, bank itu kini sudah dibeli oleh bank besar asal Singapura.

Mencermati karyawan yang pergi makan ke luar kantor, cukup lumayan menarik. Sebab mereka sering pergi bergerombol. Nah, karena bergerombol, maka dengan mudah kita mendapat kabar-kabar angin maupun kabar-kabar kabur yang tanpa angin pun bisa datang tiba-tiba. Atau, kabar-kabar yang kabur tertiup angin.

Topik kabar pun beragam. Ganti judul boleh dilakukan sesuka hati. Hal ini yang mungkin sering disebut orang sebagai “pembicaraan di warung kopi”. Pada hal para karyawan itu sedang makan di warung Tegal. Walau ada juga yang sambil makan memesan minuman kopi. Bahasa gaulnya, nge-gosip.

Salah satu topik yang sering mengemuka adalah mengenai atasan (bos) mereka. Bos yang dimaksud bisa atasan langsung mereka. Bisa atasannya atasan mereka. Bisa juga atasan tertinggi (pangkat atau kedudukannya) dalam organisasi perusahaan.

Pada jam istirahat siang itu di warung Padang, Mariana, Sri, dan Dewi mengangkat topik tentang pak Hudaya, Kepala Bagian Pembelian, atasan mereka bertiga. Seperti sudah disebutkan di muka, tanpa anginpun, kabar bisa datang. tiba-tiba.

“ Eh…, denger-denger si Aditya bakal di pe-ha-ka bulan depan ya…” Dewi membuka percakapan”.

Secepat kilat tanpa menunggu jeda, Mariana sambil menyeka keringat dengan punggung tangan di dahinya karena kepedasan berucap, “ Iya.. ya.. apa si Hudaya itu gak mikir. Si Adit kan anaknya banyak. Mana dia baru melahirkan anak ke empat …”

“Tapi kita harus ingat …” Suara Sri yang dikenal kalem masuk ke tengah arena pembicaraan. “ … mungkin itu bukan kehendak pak Hudaya. Dari bos besar ‘kali…”

Dewi menyetujui ucapan Sri melalui anggukan kepala dan menambahkan, “Kita kan tahu jaman lagi susah begini. Penjualan kagak naik. Produksi dikurangi. Jadi, pekerjaan di Bagian Pembelian berkurang.

Dewi yang bak pemimpin rapat kemudian mengarahkan pembicaraan menelusuri tiap bagian di perusahaan tersebut. Mereka menemukan bahwa memang krisis keuangan global telah masuk ke semua lini. Tiap bagian diminta “menyumbang” sekurang-kurangnya seorang karyawan untuk di-sayonara-kan. Tentu saja hal ini merupakan pilihan yang sulit bagi para Kepala Bagian. Namun bagaimanapun harus ada sesuatu yang dilakukan. Dan para Kepala Bagian seperti Hudaya mendapat ujian berat. Bukan saja pemotongan gaji dirinya yang harus ia pertanggungjawabkan kepada anak-istri di rumah. Lebih dari itu, ia harus menentukan siapa di antara bawahannya yang akan diputuskan hubungan kerja.

Terjadi pergulatan batin dalam diri Hudaya. Ia mencoba menganalisa semua bawahannya satu per satu, dari segala sisi. Mulai dari kinerja mereka, kondisi keluarga mereka, beban kerja yang ditinggalkan karyawan pehaka, dan seterusnya. Pengambilan keputusan menjadi semakin sulit, sebab Hudaya harus memilih karyawan “terburuk” di antara yang rata-rata kinerjanya baik. Kepala Bagian Pembelian itu mencoba juga memahami kebijakan bos besar, bahwa memutuskan hubungan kerja pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan bukan saja perusahaan, tetapi juga untuk sejumlah besar karyawan lainnya.

Hudaya harus mengesampingkan empatinya. Ia harus jernih berpikir. Ia harus mengutamakan kepentingan orang banyak. Kepentingan yang menyangkut nasib orang yang jumlahnya lebih besar. (the greatest good for the greatest number of people). Hudaya benar-benar mengalami ujian sebagai pemimpin. Salah satu syarat penting untuk menjadi pemimpin adalah berani mengutamakan kepentingan yang lebih besar, kepentingan orang banyak, kepentingan masyarakat luas. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus berani mengorbankan kepentingannya sendiri dan keluarganya atau kelompoknya, walaupun sejak dulu ia didukung oleh keluarganya ataupun oleh kelompoknya. Ia harus berani mengambil keputusan yang tidak populer. Menurut istilah teman saya; seorang pemimpin harus memiliki sikap “black heart”. Artinya sang pemimpin harus tega membuat keputusan yang seolah-olah “menyakitkan korbannya”, tetapi menyelamatkan kepentingan yang jauh lebih besar. Bukan itu saja. Ia juga harus mampu menghadapi tentangan dan tantangan orang-orang yang kontra kepadanya.

Hudaya membuktikan itu semua. Setelah mencermati dengan matang, ia memilih dan menjatuhkan keputusan: Memutuskan Hubungan Kerja pada Aditya. Keputusan yang sulit, memang.

Seandainya Anda berada pada posisi Hudaya, beranikah anda mengambil keputusan semacam itu ??? [Henricus Poerwanto]

>> Henricus Poerwanto, alumni Writer Schoolen Workshop Cara Cerdas Menulis Artikel Menarik Batch XI, saat ini bekerja di AGS Four winds Indonesia, perusahaan yang bergerak dalam bidang Moving Industry. Alumni Pasca Sarjana Universitas Katolik Indonesia Atmajaya ini dapat dihubungi langsung di logistic-jakarta@agsfourwinds.com

Sabtu, 23 Mei 2009

Berhentilah Menghalangi Diri

PERNAKAH Anda mengendarai mobil dengan rem tangan yang masih aktif? Mobil Anda tentu tidak bisa berlari kencang selama rem tangan tetap aktif. Jika Anda mengubah rem tangan menjadi tidak aktif, maka mobil Anda menjadi berjalan dengan normal bahkan bisa berlari kencang.

Cermati teman-teman kerja seangkatan Anda di kantor. Dalam masa kerja setelah 10 tahun, masing-masing mengalami perubahan dalam karir mereka. Ada yang masih dalam posisi sebagai staf, ada yang sudah menjadi Kepala Bagian, bahkan sudah ada menjadi Kepala Departemen.

Di bidang penjualan pun begitu. Teman Anda yang seangkatan ketika mengikuti training sales di kantor, setelah dua hingga lima tahun, juga sudah tampak perkembangan mereka. Ada yang MUNTABER, mundur tanpa berita. Sebagian lagi masih bertahan dengan penghasilan pas-pasan. Tetapi, ada juga teman Anda yang sudah dipromosikan menjadi Supervisor, Unit Manager, atau Kepala Cabang.

Apa yang membedakan mereka yang berhasil dengan mereka yang gagal? Umumnya mereka yang berhasil memiliki kemampuan dan kontribusi terhadap organisasi yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang gagal. Hal itu membuat mereka mendapat perhatian dari pimpinan untuk mendapatkan kenaikan jabatan.

Kemampuan, kontribusi, dan tingkat pencapaian seseorang dalam hidup ini sangat dipengaruhi oleh tingkat keyakinan dan kelayakan yang ada di dalam dirinya. Oleh karena itu, waspadai keyakinan dan kelayakan Anda yang tidak mendukung.

Keyakinan
Keyakinan berarti suatu pernyataan yang dianggap benar disertai dengan perasaan pasti. Kebalikan dari keyakinan adalah keraguan atau sikap ragu-ragu. Keyakinan itu seperti tombol kran air di kamar mandi di rumah Anda. Jika kran ditutup maka air tidak bisa mengalir. Kalau kran dibuka otomatis air mengalir.

Jika Anda memiliki keyakinan bahwa Anda mampu meraih keinginan, maka potensi dalam diri Anda berpeluang untuk teraktualisasi melalui sikap dan tindakan yang positif. Sikap dan tindakan positif Anda pada gilirannya membuahkan hasil berupa tercapainya keinginan Anda.

Keyakinan yang memberdayakan dapat mempengaruhi biokimia tubuh. Keyakinan menimbulkan harapan, ide-ide, sikap, dan tindakan positif. Keyakinan Anda membuat tubuh tidak mudah capek dan pikiran menjadi kreatif.

Tidak adanya keyakinan membuat potensi Anda tidak berkembang. Mengapa tidak berkembang? Sikap ragu-ragu membuat Anda cenderung tidak berdaya, tidak bertindak, dan menyerah sehingga Anda tidak mendapatkan apa yang Anda inginkan. Oleh karena itu, sebaiknya, buang jauh sikap ragu-ragu dan milikiah keyakinan yang tinggi.

Keyakinan itu bisa Anda ciptakan sendiri melalui pernyataan-pernyataan positif dengan berulang-ulang diucapkan dalam bentuk afirmatif. Hal ini penting agar pernyataan itu diterima oleh pikiran bawah sadar, sehingga nantinya menjadi keyakinan yang mempengaruhi sikap dan tindakan. Cara lain, keyakinan Anda hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan yang menjadi sumber segala sumber kebenaran.

Kelayakan
Tingkat kelayakan dipengaruhi oleh keyakinan Anda tentang apa yang Anda inginkan. Bagaimana perasaan Anda ketika Anda memikirkan sesuatu. Jika Anda merasa layak mendapatkan atau memilikinya, berarti tingkat kelayakan Anda tinggi. Perasaan layak itu sangat diperlukan untuk menjadi landasan sikap dan tindakan Anda dalam meraih sesuatu.

Apabila Anda merasa tidak layak mendapatkan suatu keinginan, maka apapun yang Anda lakukan tidak akan membantu Anda mendapatkan keinginan itu. Suatu keinginan bisa mencakup semua area kehidupan Anda, seperti keluarga, karir, kekayaan, bisnis, hubungan sosial, kesehatan, spiritual, dan lain lain.

Ketika Anda merasa tidak layak, secara tidak langsung Anda mensabotase diri sendiri dalam meraih cita-cita. Menurut Pat Pearson, bentuk-bentuk sabotase diri itu antara lain:

• Membuang, yakni Anda merasa tidak layak memilikinya.• Menyangkal, ‘Saya tidak memberi perhatian pada masalah ini karena tidak penting”.

• Cacat yang fatal, masalah kepribadian seperti cepat marah, kencanduan, dll.

• Mengundurkan diri sebagaimana tercermin pada uangkapan”Saya tidak suka berharap terlalu tinggi.”

• Merasa puas, seperti digambarkan dalam kata-kata “Saya tidak yakin cukup baik, jadi saya puas dengan seadanya.”

Perasaan tidak layak seharusnya dibuang jauh dan diganti dengan perasayaan layak. Perasaan layak ini akan membuka potensi diri untuk dikembangkan. Perasaan layak juga dapat mendorong seseorang untuk meraih kehidupan yang diinginkannya.

Untuk menumbuhkan perasaan layak itu, dimulai dari kesadaran, yakni pikiran dan perasaan kita sendiri tentang berbagai hal yang dapat kita lakukan.

Jika kita membiasakan diri dengan pikiran dan perasaan yang terkait berbagai hal yang dapat dan mampu kita lakukan, maka perlahan akan tumbuh kesadaran yang lebih luas tentang kelayakan kita di berbagai area kehidupan.

Akhirnya, agar kita tidak menghalangi diri sendiri maka sebaiknya usahakan dengan sadar untuk memiliki keyakinan dan kelayakan dalam mencapai suatu cita-cita di berbagai area kehidupan ini. Buanglah jauh-jauh perasaan ragu-ragu dan takut, karena semua itu hanya menjadi penghalang perjalanan hidup Anda dalam meraih cita-cita. (Sugeng Widodo)

Sumber : pembelajar.com

Jumat, 22 Mei 2009

Miskin Tapi Bahagia

ORANG termiskin yang aku ketahui adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa kecuali uang. – John D. Rockefeller JR

Dalam rubrik Kilasan Kawat Sedunia, Harian KOMPAS pernah memuat ringkasan hasil survei yang menarik perhatian saya. Ia menceritakan hubungan antara uang, indikator utama yang sering dipergunakan untuk mengukur seberapa kaya atau seberapa miskin seorang anak manusia itu dengan kebahagiaan. Survei yang unik dan jarang dilakukan ini, setahu saya belum pernah ada survei semacam ini di Indonesia, mungkin dapat memberi pelajaran tertentu pada kita. Berikut petikannya:

Pemeo ”uang tak bisa membeli kebahagiaan” ternyata memang benar. Sebuah survei di Australia menunjukkan, kaum kelas menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia. Sebaliknya, tingkat kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman paling miskin malah lebih tinggi.

”Pengaruh uang pada kebahagiaan nyatanya hanya terasa pada golongan yang luar biasa kaya,” kata Liz Eckerman, peneliti dari Universitas Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (13/2).

”Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga yang sudah kami wawancarai,” kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC.

Temuan-temuan yang disusun sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia, negara dimana tak ada kesenjangan kemakmuran yang ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah. Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara mereka yang menikah alias yang tak men-jomblo.

Survei ditujukan untuk mengungkap kepuasan seseorang terkait dengan berbagai hal, seperti standar hidup, kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran survei, salah satu daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di negeri kangguru itu.

Terus terang, saya tidak tahu seberapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam kategori kelas menengah di Sydney. Juga tidak terlalu jelas bagi saya berapa jumlah uang yang dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman Queensland, sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu, berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai ”luar biasa kaya”? Datanya tidak disebutkan oleh KOMPAS.

Namun, terlepas dari minimnya data yang bisa kita peroleh, tetaplah menarik ketika Eckerman, peneliti itu, membuat kesimpulan bahwa yang hidup paling bahagia di Australia adalah penduduk di lapisan bawah (miskin); kebanyakan berusia 55 tahun atau lebih; kebanyakan perempuan; dan kebanyakan menikah. Mereka inilah yang paling merasa puas dengan standar hidup mereka, puas dengan kesehatan mereka, puas dengan pencapaian dalam hidup mereka, dan puas dengan keamanan di lingkungannya. Mereka inilah orang-orang yang miskin, tetapi kaya. Miskin dalam harta benda, tetapi kaya dalam kepuasan hidup. Sungguh sebuah realitas yang memesona.

Ada beberapa pelajaran yang saya pulung dari survei di atas. Pertama, saya menduga penelitian tersebut menempatkan rasa puas—atas standar hidup; atas kesehatan; atas pencapaian dalam hidup; dan atas keamanan di lingkungannya—sebagai indikator utama kebahagiaan. Dan jika hal itu kita gunakan untuk bercermin, maka kita bisa mencoba menjawab empat pertanyaan berikut:1. Apakah saya puas dengan standar hidup kita sejauh ini?2. Apakah saya puas dengan kesehatan saya sejauh ini?3. Apakah saya puas dengan apa yang sudah saya capai dalam hidup sejauh ini?4. Apakah saya puas dengan keamanan di lingkungan saya sejauh ini?

Bisakah kita menjawab YA dengan mantap untuk keempat pertanyaan sederhana semacam itu? Atau mungkin jawaban kita perlu diberi bobot tertentu, katakanlah untuk tiap jawaban menggunakan skala 1-5. Angka 1 berarti TIDAK PUAS SAMA SEKALI, angka 2 berarti TIDAK PUAS; angka 3 berarti CUKUP PUAS; angka 4 berarti PUAS; dan angka 5 berarti SANGAT PUAS. Sehingga, total nilai 12 berarti CUKUP PUAS dan total nilai 20 berarti SANGAT PUAS. Mereka yang bisa mengumpulkan nilai mendekati angka 20-lah yang pantas kita anggap bahagia. Nah, dengan demikian kita bisa mengukur seberapa bahagia diri kita masing-masing, setidaknya untuk saat ini. Lalu kita juga bisa menyadari pada bagian mana dari keempat hal tersebut yang kita rasa paling meresahkan dan mengurangi kebahagiaan hidup kita sejauh ini. Dari sini kita kemudian bisa memikirkan cara-cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kebahagiaan kita.

Pelajaran kedua yang saya petik adalah soal hubungan antara uang/kekayaan dengan kebahagiaan. Sudah lama saya mengetahui bahwa uang dan kebahagiaan adalah dua hal yang tidak selalu berkaitan. Setidaknya saya mengenal sejumlah kawan yang punya uang miliaran rupiah dan kadang mengaku bahwa hidupnya tidak bahagia. Sementara itu sejumlah kawan lain yang uangnya tidak sampai miliaran tak pernah saya dengar mengeluhkan soal apakah dirinya bahagia atau tidak. Jadi saya sering bingung jika melihat sebagian kawan berjuang mati-matian untuk bisa kaya karena percaya kalau kekayaan bisa membuat mereka pasti bahagia. Sementara yang sudah jauh lebih kaya, mengaku tidak bahagia. Nah, atas kebingungan inilah survei Eckerman tadi bisa memberi sedikit penjelasan. Hanya pada orang atau golongan yang ”luar biasa kaya”, ada hubungan antara uang mereka dengan kebahagiaan mereka. Seakan-akan ada semacam ambang batas kekayaan yang bisa membuat kekayaan itu berdampak langsung pada kebahagiaan. Ambang batas itu tidak disebut, mungkin satu juta dolar Amerika, atau jumlah yang lebih besar.

Pelajaran ketiga, dan buat saya paling mengesankan, adalah kesimpulan survei tersebut yang menunjuk sebuah daerah termiskin di pedalaman Queensland memiliki penduduk yang paling bahagia. Kesimpulan ini sungguh membesarkan hati. Sebab ini membuka kemungkinan bahwa kawan-kawan saya di pelosok-pelosok yang sulit terjangkau sarana transportasi modern—seperti di Papua, misalnya—amat boleh jadi adalah orang-orang yang paling bahagia hidupnya.

Nah, apakah Anda kaya atau Anda bahagia?. (Andrias Harefa)

Sumber : pembelajar.com

Teori Tungku Mental

BULAN Oktober hingga November 2008 saya menyelenggarakan 2 (dua) kelas pelatihan 100 jam sertifikasi hipnoterapis. Satu di Jakarta dan satu lagi di Surabaya. Dari sekian banyak teori dan teknik yang akan diajarkan, satu yang sangat penting adalah Teori Tungku Mental.

Teori ini saya bangun berdasar informasi dan pengetahuan yang saya dapatkan dari berbagai literatur yang saya pelajari ditambah dengan pengalaman praktik saya. Teori inilah yang sebenarnya mendasari Quantum Hypnotherapeutic Procedure yang diajarkan di Quantum Hypnosis Indonesia.

Nah, sebelum saya menjelaskan mengenai Teori Tungku Mental, saya akan bercerita sedikit mengenai kasus yang saya pelajari melalui berbagai literatur dan kasus yang pernah saya tangani.

Dalam artikel ini saya hanya akan memberikan satu contoh kasus yang bersumber dari literatur. Dalam buku Trance & Treatment : Clinical Use of Hypnosis, David Speigel menceritakan satu kasus yang sangat menarik yang pernah ia tangani. Ada seorang veteran perang Vietnam. Veteran ini setelah menjalani tugas dengan track record yang sangat baik selama 15 tahun tiba-tiba berubah dan akhirnya mengalami “gangguan” dan akhirnya harus dimasukan ke rumah sakit jiwa. Veteran ini, sebelum ditangani oleh Davied Spiegel, seorang psikiater yang mendalami dan mempratikkan hipnoterapi, didiagnosa menderita “gangguan kecemasan sangat tinggi” hingga mengalami halusinasi. Ia juga pernah dimasukkan ke Palo Alto Veterans Administration Medical Center setelah mencoba melakukan tindakan bunuh diri. Ia depresi dan cenderung melakukan tindakan berbahaya namun ia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya.

Setelah Spiegel melakukan Hypnotic Induction Profile (HIP) dan didapatkan hasil 4, intact/utuh, dengan skor induksi 10,selanjutnya dilakukan Age Regression.

Singkat cerita Spiegel berhasil menemukan akar masalahnya. Veteran ini ternyata dulu waktu bertugas di Vietnam punya seorang angkat yang sangat ia sayangi. Anak angkatnya tewas saat Vietcong menyerang rumah sakit tempat ia bertugas. Veteran ini merasa begitu bersalah, karena tidak bisa melindungi anaknya, merasa marah, dendam dan benci yang luar biasa kepada serdadu Vietcong yang menewaskan anaknya. Rupanya, berbagai emosi negatif ini tidak mendapat penanganan semestirnya. Setelah dibantu oleh Spiegel veteran ini sembuh.

Namun 6 bulan kemudian veteran ini kambuh lagi saat, hanya dalam waktu 2 minggu, salah seorang kakaknya, seorang polisi, terbunuh, dan istri veteran ini mulai “melirik” pria lain, ditambah lagi seseorang menembak mati anjing kesayangannya. Setelah dirawat sebentar di rumah sakit ia kembali sembuh.

Kasus ini oleh David Spiegel diulas lengkap di artikel yang berjudul Vietnam Grief Work Using Hypnosis dan dimuat di The American Journal of Clinical Hypnosis (24(1): 33-40, 1981)

Kasus yang pernah saya tangani antara lain kasus seorang klien, seorang pria muda berusia 26 tahun, yang takut ayam, lebih spesifik lagi paruh ayam. Setelah saya cari akar masalahnya ternyata klien ini takut pisau. Saya gali lagi akhirnya saya menemukan ISE (Initial Sensitizing Event) pada saat klien berusia 4 tahun. Klien mengalami sesuatu hal dengan ibunya dan membuatnya sangat marah dan benci ibunya. Nah, kebencian ini berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa bila ia dipeluk oleh ibunya. Rasa sakit ini mengambil wujud sakit seperti bila tubuh ditikam dengan puluhan pisau sekaligus. Selanjutnya “sakit karena ditikam pisau” ini bermutasi menjadi ketakutan pada paruh ayam. Saya menyebut kondisi ini dengan “double symptom”.

Kasus lain adalah klien wanita muda, usia 21 tahun yang, menurut orangtuanya, berubah dan tidak semangat menjalani hidup. Klien ini telah 8 (delapan) bulan minum obat agar bisa tenang dan kembali “normal”. Dengan teknik tertentu saya membantu klien ini untuk menemukan akar masalahnya, membereskannya, dan setelah itu klien bisa kembali hidup normal tanpa perlu mengkonsumsi obat.

Saya membutuhkan 2 (dua) sesi dengan klien ini. Sesi pertama walaupun terlihat “tuntas” namun saya tahu belum tuntas. Dari mana saya tahu? Saya tahu karena saya belum menemukan ISE. Saya berhasil menemukan beberapa SSE (Subsequent Sensitizing Event). Namun klien belum bersedia mengungkapkan ISE kepada saya. Dan saya juga tidak bisa memaksa klien. Saya membantu klien sesuai dengan kecepatan dan kesiapan diri klien.

Setelah sesi pertama klien langsung berubah dan merasa sangat nyaman. Saya juga mendapat laporan dari orangtua klien mengatakan hal yang sama. Namun tiga hari kemudian saya mendapat kabar bahwa klien kembali ke pola lamanya. Klien kembali ke kondisi seperti sebelum saya tangani.

Selanjutnya saya memberikan sesi kedua. Nah, pada sesi kedua ini saya berhasil membantu klien menemukan akar masalahnya (ISE). Begitu ISE berhasil dibereskan segera terjadi perubahan. Dan perubahan ini bersifat permanen.
Oh ya, satu hal yang perlu saya tegaskan di sini. Anda jangan salah mengerti ya. Saya bukan dokter atau psikiater. Saya tidak pernah berani dan tidak punya kapasitas untuk meminta klien berhenti minum obat. Yang saya lakukan hanyalah membantu klien mengatasi masalah mereka, dengan keterampilan yang saya pelajari. Soal obat, saya meminta klien untuk konsultasi atau kembali ke dokter yang menanganinya. Dokter yang memberi obat maka dokter yang boleh memutuskan apakah klien perlu terus minum obat atau berhenti, dengan melihat perkembangan terakhir pasien.

Pembaca, dari tiga kisah yang saya jelaskan di atas, bisakah anda menarik benang merahnya?
Jika belum, ijinkan saya untuk mengulas kembali, tapi singkat saja ya, mengenai cara kerja pikiran.

Dualisme Pikiran
Kita punya dua pikiran yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Kedua pikiran ini mempunyai fungsi dan tugas masing-masing. Kedua pikiran ini bekerja sama dan saling mempengaruhi.

Pikiran sadar mempunyai 5 fungsi/komponen yaitu analitis, rasional, kekuatan kehendak, faktor kritis, dan memori jangka pendek.

Pikiran bawah sadar mempunyai 10 fungsi/komponen, antara lain: menyimpan memori jangka panjang, emosi, kebiasaan, dan intuisi.

Nah, masing-masing pikiran ini, pikiran sadar dan bawah sadar, mempunyai tugas melindungi diri kita. Pikiran sadar melindungi diri kita dari hal yang (dipandang) membahayakan diri kita, berdasar “pandangan” fungsi pikiran yaitu rasional dan analitis.

Menurut Milton Erickson pikiran bawah sadar melindungi diri kita dari hal-hal yang ia pandang membahayakan keselamatan fisik dan emosi kita.

Charles Tebbets dalam bukunya, yang kini telah menjadi buku klasik, Miracles on Demand, mengatakan, “Conscious mind is the mind of choice. Subconscious mind is the mind of preference. We choose what we prefer.”

Tebbets juga melanjutkan dengan menyatakan bahwa hipnoterapi bekerja berdasar prinsip sebagai berikut:
-Semua perilaku mal-adaptive adalah hasil atau akibat dari respon penyesuaian yang tidak tepat, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan di masa kecil yang sebenarnya sudah tidak sesuai/relevan dengan kondisi saat dewasa.
-Kebanyakan penyakit bersifat psikosomatis dan dipilih secara tidak sadar untuk melarikan diri dari suatu situasi, yang oleh klien, dipandang sebagai kondisi dengan muatan tekanan emosi destruktif yang berlebihan, seperti kemarahan, kebencian, dendam, dan takut, yang melebihi kemampuan klien untuk mengatasinya saat itu.
Sebenarnya ada satu lagi yaitu pikiran nir-sadar. Tapi dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas mengenai fungsi dan cara kerjanya.

Tungku Mental
Untuk memudahkan pemahaman mengenai mekanisme pikiran bawah sadar saya menggunakan analogi tungku mental. Tungku mental berisi air (baca: berbagai buah pikir/thought). Api yang memanasi tungku adalah berbagai emosi, baik itu yang positif maupun negatif, yang dialami seseorang.

Dalam kondisi normal saat api membakar tungku maka temperatur akan naik dan sampai pada suhu tertentu akan muncul uap air yang bergerak bebas ke atas karena tungku tidak ditutup. Namun apa yang terjadi bila tungku ditutup rapat?

Saat temperatur semakin tinggi, karena terus dipanasi oleh api emosi, terutama yang negatif, maka akan muncul uap yang bergerak ke atas. Namun kali ini uap tidak bisa keluar karena terperangkap di dalam tungku yang ditutup rapat. Semakin lama suhu tungku semakin tinggi, semakin banyak uap yang terperangkap, sehingga tekanan uap semakin tinggi menekan seluruh dinding dalam tungku.

Apa yang terjadi bila tungku tetap ditutup rapat?

Benar sekali. Sampai pada satu titik, saat tekanan uap melebihi daya tahan dinding tungku, maka akan terjadi ledakan hebat dan tungku akan hancur berantakan.

Nah, bagaimana dengan manusia? Jangan khawatir, kita tidak akan meledak seperti contoh tungku di atas. Pada manusia, pikiran bawah sadar akan melindungi diri kita dengan melakukan hal-hal yang dipandang perlu untuk menyelamatkan diri kita dari “kehancuran”.

Apa yang akan dilakukan pikiran bawah sadar?

Pikiran bawah sadar akan membuat retak-retak kecil di tungku mental kita sehingga ada jalan keluar bagi uap yang berada di dalam tungku mental. Dengan demikian tekanan akan turun dan tidak membahayakan keutuhan tungku mental.

Nah, saat uap dari dalam tungku keluar dan berbunyi …sssshhh……ssssshhhh….pada saat itulah seseorang akan mengalami perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini adalah manifestasi dari uap yang keluar. Biasanya perubahan ini tidak mendadak. Tetapi perlahan-lahan dan semakin lama semakin parah.

Apa yang kita lakukan terhadap orang yang telah mengalami perubahan perilaku?

Kita cenderung akan meluruskan perilakunya, benar nggak?

Apakah bisa?

Oh, sudah tentu bisa. Ada banyak cara dan teknik yang biasa digunakan. Pertanyaannya adalah perubahan menjadi “normal” kembali ini bisa bertahan berapa lama?

Seringkali tidak bisa bertahan lama. Nanti pasti akan muncul lagi perilaku yang “aneh”. Mengapa ini terjadi? Karena kita hanya menyumbat retak di dinding tungku. Saat uap sudah tidak keluar maka perilaku orang itu menjadi normal.
Dan karena kita tidak mencari sumber masalahnya, yaitu api yang berada di bawah tungku (baca: emosi yang belum terselesaikan) maka cepat atau lambat tekanan uap di dalam tungku kembali naik dan sampai pada satu titik akan terjadi kebocoran lagi.

Pembaca, dengan membaca sejauh ini saya yakin anda pasti sampai pada kesimpulan bahwa simtom adalah sesuatu yang positif. Simtom adalah bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar yang mengatakan, “Hei… ini ada masalah di bawah sini. Anda perlu menyelesaikan masalah ini. Kalau anda tetap tidak mau mengerti atau tidak bersedia menyelesaikan masalah ini maka saya akan tetap mengganggu anda.”

Masalahnya adalah bukan kita tidak mau menyelesaikan masalah tapi kita seringkali tidak memahami pesan yang disampaikan pikiran bawah sadar. Dan seringkali saat kita mau menyelesaikan masalah ini kita tidak tahu caranya atau teknik yang digunakan tidak tepat.

Lalu, bagaimana cara efektif untuk mengatasi hal ini?

Pertama, kita perlu mengeluarkan uap yang terjebak di dalam tungku. Bagaimana caranya? Gunakan uap itu sebagai petunjuk untuk menemukan retak di dinding tungku. Ini yang dikatakan oleh Milton Erickson dengan “The Symptom is the solution”.

Setelah uapnya berhasil kita keluarkan dan tekanan sudah habis selanjutnya kita bisa membuka tutup tungku. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi bila tutup tungku dibuka saat tekanannya masih sangat tinggi. Ini sama dengan membuka tutup radiator mobil saat masih panas. Sangat berbahaya.

Isi tungku adalah konten atau memori yang berhubungan atau yang membuat munculnya simtom. Setelah ini barulah kita bisa menemukan sumber api dan sekaligus memadamkan apinya.

Apa yang terjadi bila api berhasil dipadamkan? Sudah tidak ada lagi yang memanasi tungku mental. Dengan demikian temperatur tidak akan naik. Dan sudah tentu tidak akan ada uap yang menekan dinding tungku. Tidak akan terjadi retak dan kebocoran. Klien akan kembali menjalani hidup dengan normal.

Mengapa Direct Suggestion Tidak Efektif?
Dalam menangani berbagai kasus dengan muatan emosi yang tinggi, sudah tentu yang saya maksudkan di sini adalah emosi negatif, maka Direct Suggestion tidak efektif.

Mengapa tidak efektif? Karena Direct Suggestion hanya mengeliminir simtom, bukan akar masalah. Salah satu sifat pikiran bawah sadar adalah malas untuk berubah. Pikiran bawah sadar menilai sesuatu sebagai hal yang benar atau tidak benar bukan berdasarkan kebenaran yang sungguh-sungguh benar, namun lebih berdasarkan data yang tersimpan di database di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar beroperasi berdasar hukum Familiarity atau yang juga dikenal dengan Knowns and Unknowns.

Dari uraian di atas kita tahu bahwa sakit atau simtom sebenarnya suatu mekanisme perlindungan yang digunakan oleh pikiran bawah sadar untuk “menyelamatkan” seseorang. Jadi, saat pikiran bawah sadar merasa sudah “benar” dengan membuat seseorang menjadi “sakit” maka, jika dipaksa berubah dengan menggunakan Direct Suggestion, sudah tentu ia akan menolak. Dan semakin kita paksa maka ia semakin melawan dengan meningkatkan intensitas “sakit” atau “gangguan”.

Ada 4 langkah yang harus dilakukan untuk bisa menghilangkan simtom dengan cepat, efektif, efisien, dan permanen:

1.Memori yang berhubungan dengan atau yang mengakibatkan munculnya simtom harus dibawa naik ke permukaan dan diketahui secara sadar.
2.Perasaan yang berhubungan dengan memori ini harus dialami kembali. 3.Hubungan antara simtom dan memori harus diketahui. 4.Pembelajaran bawah sadar atau yang bersifat emosi harus terjadi dan memungkinkan klien untuk membuat keputusan di masa depan tanpa terpengaruh oleh konten yang telah dimunculkan.
Teknik terapi yang semata-mata hanya menggunakan Direct Suggestion mampu “menyembuhkan” klien. Namun “kesembuhan” ini tidak akan berlangsung lama. Beberapa saat kemudian akan muncul lagi simtom, bisa simtom yang lama atau bahkan yang baru. Kesembuhan ini sebenarnya adalah akibat dari penambalan terhadap retak di dinding tungku mental sehingga uap untuk sementara waktu tidak bisa keluar.

Contoh Kasus
Saya akan menutup artikel ini dengan beberapa contoh kasus yang berhasil ditangani dengan menggunakan Teori Tungku Mental.

Pertama, kasus seorang klien, wanita 39 tahun, yang mengeluh bahwa pikirannya suka sekali menghitung angka (counting numbers), dan kalau mandi lama sekali.



Wanita ini mengatakan bahwa ia mengalami OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Saya tidak tahu apakah benar ia mengalami OCD atau bukan. Mengapa? Karena ini adalah istilah yang digunakan di dunia psikologi atau psikiatri. Saya bukan psikolog atau psikiater. Jadi saya tidak bisa menggunakan istilah ini.

Berdasar Teori Tungku Mental maka saya melihat perilakunya sebagai bentuk kebocoran uap dari tungku mentalnya. Nah, tugas saya adalah, dengan berbagai teknik yang saya pelajari dan kuasai, mencari dan menemukan sumber apinya, lalu membantu klien ini mematikan apinya.

Proses uncovering membawa klien pada usia tiga belas tahun. Sesuatu terjadi di sini. Saya membantu klien mematikan apinya. Besoknya saya diberitahu klien bahwa ia mandinya sudah normal dan juga sudah tidak menghitung angka.

Kasus kedua adalah kasus yang ditangani salah satu alumnus QHI. Alumnus ini berhasil mengobati seorang wanita, usia 29 tahun, yang alergi terhadap gula atau sesuatu yang manis seperti permen atau minuman Coca Cola. Setiap kali makan atau minum yang manis maka badan klien ini akan langsung bengkak dan gatal. Anehnya, kalau makan nasi atau roti badannya biasa-biasa saja. Padahal nasi atau roti mengandung karbohidrat yang setelah masuk ke badan akan menjadi gula.

Kembali lagi, dengan Teori Tungku Mental, alumnus ini berhasil membantu klien menemukan apinya.

Apa yang terjadi?

Pada usia 3 tahun klien ini melihat kejadian yang tidak semestinya ia lihat dan setelah itu ia diberi permen. Ini adalah ISE. Selanjutnya terjadi beberapa peristiwa lagi, yang sebenarnya adalah SSE-SSE, pada usia yang berbeda. Akhirnya pada saat SMP baru muncul alergi permen.

Berapa sesi yang dibutuhkan untuk membantu klien ini? Hanya 1 (satu) sesi saja.

Contoh ketiga adalah klien yang berusia 40 tahun. Keluhan klien ini adalah ia tidak bisa minum air putih. Setiap kali minum air putih maka perutnya akan sakit dan langsung muntah. Tapi bila airnya diberi sirup, atau gula, atau dibuat teh atau kopi, maka tidak ada masalah. Setelah diselidiki ternyata klien tidak bisa minum air putih sejak usia 4 tahun.
Dibutuhan hanya 1 (satu) sesi saja untuk menemukan sumber api dan memadamkannya. Setelah itu klien langsung bisa minum air putih.

Bagaimana dengan fobia? Prinsipnya sama saja.

Pembaca, anda pasti bertanya, “Bagaimana caranya untuk bisa menemukan api dengan cepat?”
Akan sangat panjang bila saya jelaskan di sini. Inilah yang saya berikan di kelas pelatihan 100 jam hipnoterapi yang diselenggarakan oleh Quantum Hypnosis Indonesia. [Adi W. Gunawan]

Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pakar pendidikan dan mind technology,pembicara publik, dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis dua belas best seller “Born to be a Genius”, “Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success”, “Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?”, “Hypnosis – The Art of Subcsoncsious Communication”, “Becoming a Money Magnet”, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, dan “Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring”, “Cara Genius Menguasai Tabel Perkalian”, “Kesalahan Fatal Dalam Mengejar Impian 2, dan “Five Principles to Turn Your Dreams Into Reality”, dan The Secret of Mindset . Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com dan www.adiwgunawan.com

Kamis, 21 Mei 2009

Quitters Can Win

PEMBACA, saya yakin Anda pasti pernah mendengar ungkapan, “Winners never quit and quitters never win”, yang jika diterjemahkan menjadi, “Pemenang tidak pernah berhenti (mencoba) dan pecundang tidak akan pernah menang (karena berhenti mencoba)”.

Tahukah Anda siapa tokoh terkenal yang mendeklarasikan pernyataan di atas? Benar sekali. Beliau adalah Vince Lombardi, pelatih sepakbola Amerika yang mashyur.

Mungkin Anda juga pernah mendengar perdana menteri Inggris, saat Perang Dunia Kedua, Sir Winston Churchill berkata, “Never, never, never quit.”

Nah, pertanyaan saya sekarang adalah, “Apakah Anda yakin dan percaya serta menerima sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kedua tokoh ini?”

Saya dulu sangat percaya. Bahkan saya menambahkannya dengan pernyataan, “Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian. Sukses diukur lebih berdasarkan seberapa besar hambatan yang berhasil kita atasi dalam proses mencapai sukses”, dan “Tidak penting berapa kali Anda jatuh, yang penting adalah berapa kali Anda bangkit kembali setelah Anda jatuh”.

Lengkaplah sudah keyakinan saya ini. Berbekal keyakinan ini saya membuat keputusan untuk terus maju tak gentar membela yang benar… eh salah.. tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam proses menuju sukses yang saya idamkan.

Setiap kali saya ingin berhenti, selalu tidak bisa. Mengapa? Ya, itu tadi. Katanya, “Winners never quit and quitters never win”. Jika saya berhenti maka saya menjadi seorang pecundang. Wah… siapa yang mau jadi pecundang? Karena tidak mau dikatakan sebagai pecundang inilah yang membuat saya terus maju tak gentar, selama tujuh tahun, mengejar impian tanpa melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi saya. Saya menggunakan jurus “pokoke”. Pokoke maju terus.

Semua ini diperparah lagi dengan kepercayaan, “Tidak ada orang gagal. Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka berhenti terlalu cepat.” Ck.. ck.. ck… betapa berbahayanya kepercayaan ini.

Nah, pembaca, setelah mendengar sekilas kisah saya, dan melihat judul artikel ini saya yakin Anda pasti tahu ke mana arah pembahasan yang akan saya lakukan. Sebelum saya teruskan saya ingin bertanya kepada Anda. Anda jawab jujur, ya? Apakah Anda juga pernah atau sedang mengalami hal yang sama seperti yang saya alami? Bersyukurlah bila Anda belum. Bersyukurlah juga bila ternyata Anda telah mengalaminya seperti saya. He.. .he… Anda tidak sendirian.

Pertanyaan kritis yang seharusnya kita ajukan adalah, “Benarkah winners never quit and quitters never win?” Bagaimana kalau pernyataan Vince Lombardi di atas kita plesetkan sedikit menjadi “Quitters can win if they know the right reasons, the right way,and the right time to quit… ”?

Saya mendapat banyak e-mail dan SMS dari pembaca buku saya. Saya melihat satu pola yang sama yaitu umumnya mereka berkeluh kesah mengenai hidup mereka. Ada juga yang mengeluh mengenai bisnis yang sedang mereka jalankan. Bisnis ini telah dijalani selama beberapa tahun tapi belum membuahkan hasil seperti yang mereka inginkan. Mereka sangat ingin berhenti tapi tidak bisa. Alasannya nanggung nih… sudah dijalankan beberapa tahun. Kan sayang kalau berhenti di tengah jalan? Waktu saya kejar lebih jauh ternyata mereka meyakini apa yang telah saya uraikan di atas. Intinya, jika berhenti mereka akan menjadi pecundang. Benarkah seperti itu?

Keengganan berhenti atau quit juga terjadi di aspek kehidupan lain. Ada seorang rekan yang telah menjalin hubungan dengan seseorang pria selama hampir sepuluh tahun, dan dia tahu hubungan ini tidak akan ke mana-mana, dan dia tahu pacarnya ini bukan tipe pria yang bertanggung jawab, namun ia tidak berani quit atau memutuskan untuk putus. Waktu saya tanya apa alasannya kok tidak berani putus dan cari pasangan lain yang lebih cocok, jawaban yang saya terima sungguh mengejutkan saya, “Lha, saya kan sudah pacaran hampir sepuluh tahun. Kalau harus memulai dari awal lagi rasanya berat bagi saya. Selain itu usia saya sekarang juga sudah hampir 30 tahun. Sulit mencari pasangan dengan usia saya sekarang ini. Rugi dong kalo saya berhenti sekarang…”

Wah… ini jawaban yang kurang pas. Menikah kan untuk seterusnya? Lha, kalau ternyata waktu pacaran saja sudah begini modelnya terus… mau jadi apa nanti waktu sudah menikah? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala saja karena bingung. Kalau dilihat sepintas rekan saya ini tampaknya tidak mau rugi. Mungkin masa pacaran yang sudah sepuluh tahun ini dianggap sebagai masa investasi. Dengan demikian ia telah menghitung ROI (return on investment) dan berapa potential loss yang mungkin terjadi jika ia quit.

Pembaca, apakah kita boleh quit?
Tentu boleh. Siapa yang berhak melarang? Kan ini hidupnya kita sendiri. Kita mau quit atau terus itu urusan kita. Orang lain nggak boleh ikut campur. Satu hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh yaitu saat kita quit, kita harus quit dengan alasan yang tepat. Tidak asal quit.

Untuk yang ini saya serahkan sepenuhnya pada Anda. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah kita quit karena kita memang malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena kita, setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, melakukan whatever it takes, massive action dengan burning desire, sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup kita.

Quit di sini jangan diartikan hanya untuk orang yang belum berhasil mencapai sesuatu. Quit yang saya uraikan di sini juga berlaku bagi mereka yang sebenarnya telah berhasil mencapai kesuksesan pada level tertentu namun merasa hambar dengan hidup mereka.

Saya pernah membaca kisah seorang financial consultant, di Jakarta, yang sangat sukses dengan kariernya, pada usia 40 tahun, memutuskan quit dan banting setir menjadi seorang pelukis. Benar, Anda tidak salah baca, menjadi seorang pelukis.

Tentu tidak mudah melakukan hal ini. Banyak kawannya yang berkata bahwa ia gila karena meninggalkan karier yang begitu cemerlang, karier yang telah memberikan hasil yang begitu besar, khususnya di aspek finansial. Namun apa jawaban si financial consultant ini? “Saya merasa jauh lebih tenang, damai, dan bahagia dengan menjadi seorang pelukis. Ini adalah impian yang saya kubur sekian lama. Sekarang saya telah menjadi orang yang bebas mengekspresikan diri saya sendiri,” jawabnya lugas.

Nah, pembaca, pada contoh di atas, yang terjadi adalah seringkali seseorang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Nah, kalau begitu apa yang harus dilakukan? Ya banting setir seperti si financial consultant ini.
Mengapa sampai bisa terjadi tangga bersandar di tembok yang salah dan kita tidak tahu atau menyadarinya? Jawabannya sangat sederhana.

Apa itu?
Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan saksama. Manusia pada umumnya menjalani hidup asal-asalan. Mereka tidak punya peta kehidupan yang akan mereka jalani. Bagaimana caranya agar bisa punya peta kehidupan? Ya, kita rancang sendiri, dong.

Bagaimana cara merancang peta kehidupan?
Di berbagai buku pengembangan diri, seminar motivasi, seminar sukses, dan berbagai program video yang saya pernah pelajari, umumnya kita diminta untuk membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karier, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Saya pun dulunya melakuan hal yang sama dengan yang dianjurkan.

Namun, seiring dengan berkembangnya kesadaran diri melalui proses pembelajaran dan perjalanan hidup, saya akhirnya menyadari satu hal yang selama ini luput dari perhatian saya. Ternyata untuk menyusun impian tidak asal susun. Pemahaman yang saya dapatkan, dan ini yang sekarang saya bagikan kepada para peserta seminar, workshop, dan kepada khalayak ramai melakui buku-buku yang saya tulis, yaitu menyusun impian yang benar hanya bisa dilakukan dengan satu syarat. Dan, syarat inilah yang selama ini tidak diperhatikan kebanyakan orang.

Apa itu?
Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup (value).

Lho, mengapa value? Kok bukan berdasar pendidikan yang kita jalani?
Value adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. Value berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Jika dihubungkan dengan cerita mengenai “tembok yang salah” maka yang dimaksudkan dengan “tembok” sebenarnya value. Dengan value sebagai fondasi maka impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat kita mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin semangat dan bahagia. Untuk mengukur pencapaian seseorang sebenarnya bisa dilihat dari seberapa bahagia kita saat kita mencapai impian.

Mengapa bukan berdasar pendidikan formal kita?
Karena ada begitu banyak orang yang salah jurusan, saat kuliah di perguruan tinggi. Saya pernah memberikan konseling pada seorang wanita, dokter umum usia 29 tahun, yang sedang mengambil spesialisasi menjadi dokter tulang (orthopedist). Wanita ini mengaku bahwa ia sebenarnya tidak suka dengan jurusan yang saat ini ia tempuh. Ia merasa letih sekali. Padahal ini baru di tahun pertamanya.

Waktu saya tanya, mengapa kok diteruskan, kok nggak berhenti saja?
Jawabannya, sama seperti jawaban yang biasa saya terima, “Sudah kepalang basah, Pak. Kalau berhenti sekarang, terus… ngapain saya kuliah di kedokteran umum?”

“Lho, dulu kok bisa milih masuk kedokteran?” tanya saya lagi.

“Ya, soalnya katanya Om saya, kalau jadi dokter hidupnya enak,” jawabnya.

“Terus… kenapa kok pilih tulang, kok bukan spesialis yang lain?” kejar saya.

“Sebenarnya saya lebih suka jadi spesialis anak. Tapi jurusan ini sangat sulit dimasuki. Saya sudah coba tapi nggak bisa. Saya hanya dapat kesempatan spesialisasi tulang. Daripada nggak bisa kuliah lagi, ya saya masuki saja,” jawabnya enteng.

Kisah ini sangat berbeda dengan kisah kawan saya, Lan Fang, di Surabaya. Lan Fang dulunya adalah seorang agen asuransi yang sangat berhasil. Namun hatinya selalu gelisah. Ia merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan panggilan hatinya. Lan Fang senang menulis. Sambil menjadi agen asuransi ia telah menulis beberapa novel yang ternyata sangat berhasil.

Cukup lama Lan Fang bimbang. Ia dipersimpangan jalan. Namun setelah menimbang-nimbang, setelah melakukan perenungan mendalam, Lan Fang akhirnya memutuskan untuk mengikuti suara hatinya, menjadi seorang penulis buku, full time.

Banyak yang menyayangkan Lan Fang berhenti sebagai agen asuransi mengingat potensinya yang sangat luar biasa. Namun Lan Fang memutuskan quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan exit strategy yang tersusun dengan baik dan matang.

Sampai saat ini Lan Fang telah menulis delapan novel. Di antaranya Reinkarnasi, Laki-laki yang Salah, Perempuan Kembang Jepun, dan Kota Tanpa Kelamin.

So… siapa bilang quitters never win? Sering kali the real winner adalah mereka yang berani quit. Dan the real loser justru mereka yang bersikeras berkata, “Never, never, never quit”. Anda perlu hati-hati agar tidak menjadi winner di antara para loser karena Anda adalah yang paling tidak mau quit. (Adi W. Gunawan)

* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pakar pendidikan dan mind technology,pembicara publik, dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis dua belas best seller “Born to be a Genius”, “Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success”, “Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?”, “Hypnosis – The Art of Subcsoncsious Communication”, “Becoming a Money Magnet”, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, dan “Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring”, “Cara Genius Menguasai Tabel Perkalian”, “Kesalahan Fatal Dalam Mengejar Impian 2, dan “Five Principles to Turn Your Dreams Into Reality”, dan The Secret of Mindset . Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com dan www.adiwgunawan.com.

Rabu, 20 Mei 2009

Aku Ingin Menjadi Luar Biasa!

MATA, pikiran dan hati selalu ingin melihat semuanya indah seperti yang kita impikan. Tetapi mengapa kenyataannya tidak seperti yang kita harapkan ? Anda tentu punya impian, harapan, keinginan atau cita -cita.Pertanyaanya, sudahkah semuanya menjadi kenyataan ? atau sudah berapa persenkah anda mewujudkannya ?

Tulisan ini akan mengajak anda mendesain masa depan yang lebih baik. Namun sebelum melanjutkan membacanya , siapkan pensil dan buku untuk mencatat hal terpenting yang muncul. Siapkan pula pikiran, hati, ketulusan serta kejujuran anda menerima dalil -dalil di bawah ini:

Pengakuan diri yang jujur merupakan kunci sukses pribadi anda Sebuah keberanian akan mengantar anda kejalan yang tepat Sikap mau belajar merupakan teman seperjalanan yang akan memberi penerangan Rendah hati adalah senjata untuk menghancurkan semua rintangan Setelah memahami dalil -dalil diatas, mari berlayar memahami diri anda, menemukan impian dan meraihnya.

Cita -cita. Pengenalan diri secara jujur merupakan sikap yang sangat bijaksana sebelum anda ingin menjadi luar biasa. Dengan begitu anda akan menemukan kelebihan dan kekurangan anda. " aku dan cita -citaku " adalah suatu bentuk keinginan paling mendalam dari setiap orang. Untuk mengenali diri anda sendiri maka anda harus set ulang apa sebenarnya cita -cita anda. Mau jadi apa saya dalam 3, 5, 10 tahun mendatang ? Orang -orang luar biasa selalu mencari lingkungan yang mendukung dirinya menjadi apa yang diimpikannya. Jika tidak menemukannya, mereka tidak pasrah ! Mereka justru menciptakan lingkungan sendiri. Silahkan introspeksi diri apakah cita -cita anda sejalan dan mendapatkan lingkungan yang sesuai. Jika tidak anda harus berani keluar dari jalan yang selama ini dijalani. Beranilah berputar haluan ! Lalu tatapkan cita -cita anda dan pegang teguh itu. Kenali diri anda dengan cita -cita anda.

Citra Diri. Bagaimana cara anda memandang diri anda sendiri ? Apakah anda melihat diri anda sebagai sosok yang lemah, tak berdaya, penuh rasa rendah diri, apatis, egois, menyebalkan, minder, takut gagal atau sifat dan sikap negatif lainnya ? Citra diri yang baik merupakan syarat mutlak untuk anda menjadi manusia yang luar biasa. Jika selama ini anda pesimis pada diri sendiri,maka sudah waktunya mengubah diri menjadi optimis, berpenghargaan besar, berambisi, dan berani menghadapi tantangan dan resiko. Setiap pribadi layak untuk berhasil dan sukses. Setiap pribadi berhak menetapkan cita -citanya setinggi langit, berhak mendapatkan apa yang diinginkan. Selama anda merasa todak layak, tidak mampu, itu berarti anda terlalu menghina diri anda sendiri. Anda sudah menginjak -injak diri sendiri. Sebab itu perbaiki cara melihat diri sendiri. Perbaiki citra diri anda.

Harga Diri. Perasaan diri sendiri atau berapa besar menyukai diri sendiri itu adalah sebuah harga diri. Pernahkah anda membayangkan jadi bintang film terkenal yang disanjung dan dihormati banyak orang ? Bukankah hati dan perasaan anda sangat luar biasa ? Bukankah itu sangat berpengaruh terhadap perasaan ? Bukankah kemudian anda semakin menyukai diri anda sendiri ? Itulah sebuah harga diri. Menyukai, bangga, dan menyayangi diri sendiri merupakan faktor terpenting untuk menjadi luar biasa. Orang lain tidak mungkin akan menghargai anda jika anda sendiri tidak pernah menghargai diri sendiri. Kalau anda memberikan nilai 10 pada diri anda maka orang lain pun akan memberikan nilai 10, bahkan lebih ! Sebaliknya jika anda sudah tidak menghargai diri sendiri, begitu murah menghargai diri sendiri, orang lain pun akan melakukan hal yang sama terhadap anda. Maka hargai diri anda setinggi -tingginya.

Menantang Diri Sendiri. Anda tidak mungkin termotivasi setiap saat. Ada kalanya jika hidup terasa sulit sehingga motivasi hilang. Tetapi sebaliknya, jika perasaan anda sedang senang maka anda akan mendapatkan kembali api motivasi tersebut. Motivasi akan muncul jika berhubungan dengan nilai kehidupan, keinginan, kebutuhan dan ambisi. Motivasi juga akan timbul jika kita hendak bepergian, kehidupan terancam atau waktu menghadapi sebuah resiko. Maka, tatkala anda kehilangan motivasi, saatnya anda harus menantang diri sendiri. Ciptakan lagi motivasi yang terhilang tersebut. Bagaimana caranya ? lakukan cara ini : tetap antusias, penuhi diri dengan rasa ingin tahu, baca buku, dengar kaset motivasi, renungkan terus impian, bayangkan saat impian terwujud, sadari bahwa anda dalam proses perubahan, dan jangan berharap kehidupan jadi lebih mudah. Menantang diri sendiri berarti anda berani mengakui segala kelemahan dan kekurangan. Anda harus siap mengubahnya menjadi kekuatan dan kelebihan. Berani menantang diri anda sendiri berarti anda sudah masuk ke dalam dunia komitmen yang tertinggi dalam proses pencapaian kemenangan diri anda.

Mulai Bergerak. Setelah mengetahui dengan pasti ke mana anda akan pergi, maka saatnya anda bergerak. Kesiapan sangatlah diperlukan dalam perjalanan anda menjadi manusia yang luar biasa. Maka hal -hal yang harus anda lakukan adalah : mengubah frustasi menjadi aksi. Sudah saatnya anda tinggalkan konsep -konsep, metode, cara -cara kerja dan kebiasaan lama. Ganti dengan yang baru. Saatnya anda bangkit, bangun dan sadar bahwa ternyata anda menjadi luar biasa jika anda mau dan bersedia membayar harganya. Apa yang harus anda perbuat ? Buat daftar sifat terbaik lalu buang sifat buruk. tetaplah bergairah, terus belajar mengembangkan potensi diri, kepribadian, tantangan lebih berani, selalu bicara positif, membuat prestasi lebih baik, selalu berhubungan dengan orang lain, selalu memotivasi diri setiap saat, dan memahami hukum panen. Jika anda menghendaki buah durian janganlah menanam biji jagung.

Menjadi Luar Biasa. Setelah mengenali diri, berani menantang diri sendiri, mulai bergerak ke depan ke arah perbaikan, kemajuan, pengembangan diri yang positif, maka siap -siaplah menyongsong lahirnya diri anda sebagai manusia luar biasa. Berfikir terlebih dulu baru bertindak adalah cara yang benar yang dilakukan oleh orang -orang luar biasa. Kendaraan berati fasilitas yang dipergunakan untuk menuju ke masa depan yang anda inginkan. Kendaraan anda tidak lain adalah semangat anda.

Kemauan. Akhir kata, kemauan dan pilihan adalah yang sangat menentukan apakah anda ingin tetap menjadi manusia yang biasa atau luar biasa. Tidak perduli anda siap dan dari mana, jika anda mau dan memilih untuk menjadi orang yang luar biasa anda pasti bisa. Tetapi jika anda tidak mau, maka hidup anda tidak akan pernah berubah. Jika anda tidak memilih, janganlah menyalahkan keadaan. Anda yang menentukan ke mana akan pergi, dengan siapa pergi, apa yang harus dibawa, berapa banyak bekal, kapan mau berangkat, jalan mana yang harus dilewati, semuanya tergantung pada pilihan dan keputusan anda sendiri. Menjadi luar biasa hanyalah salah satu pilihan yang dapat anda pilih dalam kehidupan anda. Anda pasti bisa jika anda menginginkannya. Salam sukses !. (Benyamin)

Sumber : Gemini Training Centre

Selasa, 19 Mei 2009

Berbuatlah Yang Terbaik Dalam Hidupmu

SUATU ketika, ada seorang pedagang kaya yang mempunyai 4 isteri. Dia mencintai isteri ke-4 dan menganugerahinya harta dan kesenangan, sebab ia yang tercantik di antara semua isterinya.

Pria ini juga mencintai isterinya yang ke-3. ia sangat bangga dengan sang isteri dan selalu berusaha untuk memperkenalkan wanita cantik ini kepada semua temannya. Namun ia juga selalu kuatir kalau isterinya ini lari dengan pria lain. Begitu juga dengan isteri ke-2. Sang pedagang sangat menyukainya karena ia isteri yang sabar dan penuh pengertian. Kapan pun pedagang mendapat masalah, ia selalu minta pertimbangan isteri ke-2-nya ini, yang selalu menolong dan mendampingi sang suami melewati masa-masa sulit.

Sama halnya dengan isteri pertama. Ia adalah pasangan yang sangat setia dan selalu membawa perbaikan bagi kehidupan keluarganya. Wanita ini yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan bisnis sang suami.

Akan tetapi, sang pedagang kurang mencintainya meski isteri pertama ini begitu sayang kepadanya. Suatu hari si pedagang sakit dan menyadari bahwa ia akan segera meninggal. Ia meresapi semua kehidupan indahnya dan berkata dalam hati, "Saat ini aku punya 4 isteri. Namun saat aku meninggal, aku akan sendiri. Betapa menyedihkan."

ISTERI KE-4: NO WAY
Lalu pedagang itu memanggil semua isterinya dan bertanya pada isteri ke-4-nya. "Engkaulah yang paling kucintai, kuberikan kau gaun dan perhiasan indah. Nah, sekarang aku akan mati. Maukah kamu mendampingi dan menemaniku?" Ia terdiam.... tentu saja tidak! Jawab isteri ke-4 dan pergi begitu saja tanpa berkata apa2 lagi. Jawaban ini sangat menyakitkan hati. Seakan2 ada pisau terhunus dan mengiris-iris hatinya.

ISTERI KE-3: MENIKAH LAGI
Pedagang itu sedih lalu bertanya pada isteri ke-3. "Aku pun mencintaimu sepenuh hati dan saat ini hidupku akan berakhir. Maukah kau ikut denganku dan menemani akhir hayatku?" Isterinya menjawab, "hidup begitu indah di sini, Aku akan menikah lagi jika kau mati". Bagai disambar petir di siang bolong, sang pedagang sangat terpukul dengan jawaban tsb. Badannya terasa demam.

ISTERI KE-2: SAMPAI LIANG KUBUR
Kemudian ia memanggil isteri ke-2. "Aku selalu berpaling kepadamu setiap kali aku mendapat masalah dan kau selalu membantuku sepenuh hati. Kini aku butuh sekali bantuanmu. Kalau aku mati, maukah engkau mendampingiku?" Jawab sang isteri, "Maafkan aku kali ini aku tak bisa menolongmu. Aku hanya bisa mengantarmu hingga ke liang kubur. Nanti akan kubuatkan makam yang indah untukmu."

ISTERI KE-1: SETIA BERSAMA SUAMI
Pedagang ini merasa putus asa. Dalam kondisi kecewa itu, tiba-tiba terdengar suara, "Aku akan tinggal bersamamu dan menemanimu kemana pun kau pergi. Aku tak akan meninggalkanmu, aku akan setia bersamamu. Pria itu lalu menoleh ke samping, dan mendapati isteri pertamanya di sana. Ia tampak begitu kurus. Badannya seperti orang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, "Kalau saja aku bisa merawatmu lebih baik saat aku mampu, tak akan kubiarkan engkau kurus seperti ini, isteriku."

HIDUP KITA DIWARNAI 4 ISTERI
Sesungguhnya, kita punya 4 isteri dalam hidup ini. Isteri ke-4 adalah TUBUH kita. Seberapa banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah. Semua ini akan hilang dalam suatu batas waktu dan ruang. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap kepada-Nya.

Isteri ke-3, STATUS SOSIAL DAN KEKAYAAN. Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada yang lain. Mereka akan berpindah dan melupakan kita yang pernah memilikinya. Sebesar apapun kedudukan kita dalam masyarakat dan sebanyak apapun harta kita, semua itu akan berpindah tangan dalam waktu sekejap ketika kita tiada.

Sedangkan isteri ke-2, yakni KERABAT DAN TEMAN. Seberapa pun dekat hubungan kita dengan mereka, kita tak akan bisa terus bersama mereka. Hanya sampai liang kuburlah mereka menemani kita.

Dan sesungguhnya isteri pertama kita adalah JIWA DAN AMAL KITA. Sebenarnya hanya jiwa dan amal kita sajalah yang mampu untuk terus setia mendampingi kemana pun kita melangkah. Hanya amallah yang mampu menolong kita di akhirat kelak.

Jadi, selagi mampu, perlakukanlah jiwa kita dengan bijak serta jangan pernah malu untuk berbuat amal, memberikan pertolongan kepada sesama yang membutuhkan. Betapa pun kecilnya bantuan kita, pemberian kita menjadi sangat berarti bagi mereka yan memerlukannya. Mari kita belajar memperlakukan jiwa dan amal kita dengan bijak.

Daftar Arsip

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More